Pertama,Politik Uang Sangat Merendahkan Martabat Rakyat Calon tertentu yang sengaja mengunakan uang untuk menentukan siapa yang harus dipilih dalam pemilihan kepala desa sangat nyata telah merendahkan martabat rakyat.Suara dan martabat rakyat hanya di nilai dengan uang beberapa ratus ribu saja.Yang sebenarnya tidak sebanding dengan apa yang akan di dapat selama beberapa tahun sang calon yang berhasil menduduki kursi yang berhasil di rebut dengan cara ini.
Proses politik uang ini sangat jelas merupakan pembodohan massal karena rakyat di kelabuhi dan di bodohi hanya dengan mengekploitasi kepentingan mereka. Penderitaan mereka akibat kebijakan yang keliru selama sang calon menjabat atau akibat penerapan sistem yang tidak adil dan bersifat menindas kelas sosial tentu ditutup rapat-rapat dan dikelola secara baik untuk kepentingan sang calon menaiki tampuk kekuasaan. Ada kecenderungan, Politik Uang sengaja dipelihara dengan cara lebih dulu memelihara penderitaan rakyat agar bisa dikelola setiap momen pesta demokrasi.
Kedua, Politik Uang merupakan Jebakan buat Rakyat. Seseorang yang menggunakan Politik Uang untuk mencapai tujuannya sebenarnya sedang menyiapkan perangkap untuk menjebak rakyat. Rakyat dalam hal ini tidak diajak untuk sama-sama memperjuangkan agenda perubahan, tetapi diarahkan hanya memenangkan sang calon semata. Setelah calon terpilih maka tidak ada sesuatu yang akan diperjuangkan karena sang calon akan sibuk selama beberapa tahun atau periode tertentu untuk mengembalikan semua kerugiannya yang telah dikeluarkan untuk menyuap para pemilih. Kondisi akan lebih para jika misalnya, calon telah meminta bantuan konglomerat tertentu untuk menyediakan dana yang dipakai untuk menjalankan Politik Uang.
Baca Juga : Penjelasan Politik Uang Di Pilkades
Sudah bisa dipastikan, berdasarkan pengalaman yang ada, sang calon ketika dipilih oleh rakyat yang telah dibayar, akan sibuk mengabdi selama beberapa tahun melayani semua kepentingan dan kemauan sang konglomerat karena dialah yang menjadi donatur bagi sang calon. Di pemerintahan desa akan terjadi sebuah pelayanan terhadap sang donatur dalam bentuk kolaborasi kepentingan dalam Badan Anggaran sehingga muncul mafia anggaran yang mengelola proyek fiktif, proyek rendah mutu dan proyek dengan penggelembungan harga atau mark-up. Semua ini dilakukan dalam rangka membahagiakan sang donatur dan secara nyata akan merugikan rakyat pemilih.
Ketiga, Politik Uang Mematikan Kaderisasi Politik. Kaderisasi Politik akan mati total jika terjadi Politik Uang dalam Pemilihan. Sang calon merasa tidak terbeban kepada pemilih karena akan menganggap keheberhasilannya sebagai sesuatu yang telah dibeli dari rakyat saat terjadi transaksi jual-beli suara. sebagai konsekwensinya sang calon akan sibuk mempertahankan kekuasaannya di posisi tersebut dan akan tetap maju sebagai kandidat di periode selanjutnya.
Sumber daya politik dan dana yang dikumpulkan akan dipakai untuk kepentingan diri sendiri dari periode ke periode. Disinilah terjadi kematian terhadap kaderisasi karena sang calon tidak akan dengan rela melepaskan kekuasaannya karena memang tidak ada kader yang dia siapkan. Buktinya ada banyak, bisa ditemui di berbagai daerah.
Keempat, Politik Uang akan Berujung pada Korupsi. Korupsi yang marak terjadi adalah sebuah bentuk penyelewengan anggaran dimana terjadi kerjasama antara donator,pemimpin dan bawahan. Kehadiran donator dengan fungsi kontrol atau pengawasan tidak berfungsi secara maksimal. Poin ini ada kaitan dengan point kedua diatas, dimana motifasi dilakukannya korupsi adalah untuk mengembalikan kerugian yang terjadi saat pemilihan dimana sang calon telah melakukan Politik Uang dalam rangka membodohi rakyat untuk kepentingan meraup suara.
Kelima, Politik Uang Membunuh Transformasi Masyarakat. Transformasi atau perubahan sebuah masyarakat ke arah yang lebih baik akan terhambat, bahkan mati jika proses demokrasi didominasi dengan Politik Uang. Perubahan yang diimpikan jelas tidak akan tercapai karena sang calon, ketika menang, akan menghabiskan seluruh energinya untuk mengembalikan semua kerugian yang telah dikeluarkan selama kampanye, utamanya kerugian yang terjadi akibat jual-beli suara dalam kerangka Politik Uang. Sang Calon secara nyata tidak akan merasa terbeban karena menganggap bahwa dia telah membeli suara dan kondisi keterpurukan masyarakat tidak menjadi urusan dia.
Kita bisa dengan mudah membuktikannya dari pengalaman yang ada, dimana Tanah desa kita dilanda begitu banyak soal kronis tetapi seolah-olah persoalan ini hanya menjadi tanggungjawab aktivis bekas botoh dan antek2nya untuk menyuarakan perubahan, sementara mereka yang menang sebagai pengusa lebih sibuk dengan persoalannya sendiri. Pada titik ini, para penguasa tidak bisa disalahkan karena memang dia tidak pernah merasa terbeban dengan persoalan rakyat akibat Politik Uang tadi.
Demikian sedikit gambaran tentang Bahaya Politik Uang dalam Pemilu. Semoga Sikap ANTI POLITIK UANG menjadi sikap kolektif kita dan Pemilihan 2019 menjadi momentum untuk perubahan di Desa Tercinta ini.
Advertisement
