Dan ironisnya kadangkala merembet sampai pada pemilihan ketua organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam.
Sudah jadi tradisi bila ada seorang yang ingin maju dalam ajang pertarungan pemilihan, dia suka bagi-bagi uang kepada calon pemilihnya. Ada istilah serangan fajar, yaitu uang dibagikan pagi hari saat jatuh hari pemilihan. Jumlahnya kadang cukup lumayan juga, ada yang 50 ribu, 100 ribu bahkan ada juga yang sampai 200-300 ribu.
Kita bisa bayangkan berapa kira-kira uang yang harus disiapkan oleh seorang kandidat untuk 'membeli suara' ini. Belum lagi dia juga harus merogoh kocek sendiri untuk membayar para saksi dan juga biaya akomodasi di suatu daerah pemilihan.
Selain itu sang kandidat masih juga dibebani berbagai biaya lain seperti biaya bikin spanduk, baliho, poster. Dan satu lagi biaya yang tidak pernah kecil jumlahnya, yaitu biaya untuk perjalanan botoh - botohnya.
Kalau mau tahu berapa sih uang yang harus disiapkan oleh seorang kandidat, kita bisa melihat beberapa contoh langsung kepada mereka yang sudah pernah melakukannya. Artinya, angka-angka yang disebut itu bukan angka asal-asalan, tetapi berdasarkan pengakuan pelakunya langsung, tentu yang kini sudah jadi pejabat.
Seorang calon yang terpilih dan tidak tepilih pernah menyebutkan untuk menjadi kades, ada beberapa paket biaya yang harus disiapkan. Ada paket hemat yang mempunyai uang sekitaran 100 - 200 JT, dan ada paket komplit yaitu tidak kurang dari 500 - 700 JT Rupiah
Dari Mana Sumber Semua Uang Itu?
Sekarang yang jadi pertanyaan, kira-kira dari mana para calon kandidat itu punya uang ratusan Juta?
Dari uang tabungan kah? Atau dari uang warisan dari engkong yang jual tanah? Atau uang dari kotak amal jamaah pengajian, dimana ustadznya minta keikhlasan para jamaah?
Jawabannya 100% tidak. Tidak mungkin ada orang punya tabungan ratusan juta, kalau pun punya, ngapain buang-buang duit segitu banyak untuk mencalonkan kades, padahal belum tentu menang. Tanah punya engkong di kampung kalau pun dijual cepat, tidak akan sampai ratusan juta.
Dan tidak ada jamaah pengajian yang mau dengan ikhlas kotak amalnya dipakai buat biaya pemilihan.
Jawaban dari pertanyaan ini adalah dari para pejabat sendiri, yaitu dari investasi atau pinjaman pihak-pihak tertentu, baik disebut dengan istilah teman, kolega, atau pun resmi disebut pengusaha. Ada juga yang hasilnya dari patungan keluarga atau saudara saudaranya mungkinkah,,,bisa jadi mungkin.
Kalau disebut istilah pinjaman, tentu jangan dibayangkan bahwa seperti kita pinjam uang ke tetangga. Pinjam 10 ribu perak, lalu habis bulan kita bayar 10 ribu perak juga. Itu sih pinjaman ecek-ecek. Bahkan kalau tetangga lupa, ketemu di jalan bisa dianggap impas saja. Malah yang meminjamkan saja sudah lupa, saking kecilnya nilai yang dipinjamkan.Dan kalau memang benar dapat uang hasil patungan dari keluarganya.
Tetapi pinjaman dan patungan buat membiayai sang kandidat adalah pinjaman yang nilainya ratusan juta, nolnya panjang sekali di belakang. Tentu tidak ada istilah pinjaman yang sifatnya gratis alias tanpa hasil tambahan. Orang bilang, tidak ada makan siang yang gratis. Semua ada biayanya, semua ada kalkulasinya, dan semua ada hitung-hitungannya.
Hitungannya, kalau nanti sang kandidat sudah jadi pejabat, tentu pejabat ini bisa bikin segala macam surat, baik surat izin ini dan itu, atau pun kebijakan-kebijakan yang akan sangat menguntungkan para keluarga dan yang meminjami biaya dahulu. Itu keuntungan minimal yang sejak awal sudah terbayang.
Jadi dengan adanya sistem demokrasi yang bisa dibeli ini, malah kalangan dunia usaha sangat diutungkan dengan adanya pembiayaan kepada para kandidat.
Dengan masa jabatan lima tahun atau enam tahun itu, bahkan bisa diperpanjang karena menjadi kandidat incumben, maka ada begitu banyak kebijakan yang sudah bisa diatur sedemikian rupa, agar bisa menguntungkan para keluarga dan yang meminjami biaya. Tentu saja para keluarga dan yang meminjami biaya itu akan pesta pora mendapatkan hujan 'berkah' rejeki yang tidak berhenti mengalir.
Hukum Menerima Uang Pilkades
Kalau kita sudah tahu dari mana sumber uang dibagi-bagikan menjelang pilkades itu, maka kita tahu sumbernya adalah kesepakatan haram jadah yang terjadi antara para calon dan masing-masing keluarga dan yang meminjami biaya.
Saya mengibaratkan kedudukan uang itu hanya beda tipis dengan status uang dari hasil keuntungan jual daging mentah alias bisnis prostitusi di rumah-rumah bordil. Orang bilang sebelas dua belas. Lalu kita dikasih cipratannya, agar kita ikut mendukung bisnis rumah bordil itu.
Jadi hukum menerimanya bagaimana?
Mudah saja jawabannya : haram, haram dan haram.
Kalau dulu ada yang bilang, sudahlah ambil saja uangnya, tetapi jangan pilih orangnya, maka saya bilang bahwa mengambil uangnya saja sudah haram, apalagi pilih orangnya.
Kok mengambil uangnya haram?
Ya, jelas haram, karena uang itu sebenarnya tidak lain merupakan salah satu dari teknik gratifikasi modern.
Kalau dalam gratifikasi konvensional, penguasaha atau investor kasih uang sogokan kepada pejabat yang sudah aktif, maka dalam gratifikasi modern, para investor memberi uang kepada calon pejabat yang nantinya akan menjabat.
Sehingga si pejabat itu belum apa-apa sudah hutang budi duluan. Maka mau tidak mau si pejabat harus membuat kebijakan terntentu yang harus menguntungkan para investornya.
Lalu apa salah kita menerima uangnya semacam itu?
Paling tidak ada lima kesalahan sekaligus yang telah kita lakukan saat menerima bagi-bagi uang dari kandidat.
Pertama, kesalahan kita adalah memilih kandidat yang dari awal sudah terikat dengan para investornya. Biaya yang dibenamkan para investor sangat besar, dan kandidat tidak mungkin menutup mata kalau sudah jadi pejabat. Mau tidak mau dia pasti akan bikin kebijakan licik dan terselubung yang pasti harus menguntungkan investornya.
Kedua, kalau pun kita hanya ambil uangnya dan tidak pilih orangnya, kita juga tetap salah. Sebab sejak awal kita sudah menipu sang kandidat. Pura-pura mau milih ternyata kita tidak memilih.
Ini namanya menipu juga, dan menipu itu haram hukumnya, walau pun yang kita tipu itu sebenarnya maling atau penjahat. Maka makan uangnya penjahat dari hasil kejahatannya termasuk ikut makan uang haram juga.
Ketiga, sumber dan asal-usul uang yang dibagi-bagi itu jelas sudah haram, karena bagian dari 'sogokan' prematur, demi membeli sang kandidat.
Keempat, kalau kandidat itu kalah dan tidak jadi pejabat, maka dia akan mati berdiri, bahkan akan gantung diri. Sebab hutang-hutagnya berjibun, tidak bisa dibayarkan sampai tujuh turunan. Padahal kita tahu, sebagian dari uang itu sudah kita makan, padahal sumbernya dari hutang si kandidat gagal itu.
Kelima, alih-alih kita mengingatkan si kandidat yang melenceng dari kebenaran, ternyata kita malah ikut menikmati uangnya. Dosa kita adalah dosa mendiamkan kebatilan sekaligus menikmati uang kebatilan itu.
Alasan Harus Melihat Realita Demi Maslahat Yang Lebih Besar
Sebagian orang ada yang menutup mata dan main tabrak saja urusan seperti ini. Alasannya, karena semua kecurangan ini dianggap sudah menjadi 'urf dan realita yang tidak bisa dipungkiri. Jadi yang tadinya haram hukumnya, bisa saja berubah jadi halal.
Maka saya melihat ada pihak-pihak tertentu yang seolah-oleh di tangannya ada kunci surga, lalu bermain api untuk menghalalkan segala cara, demi menduduki jabatan yang berlimpah dengan harta. Seolah-olah yang haram itu jadi halal di bawah fatwanya.
Kok bisa yang haram berubah jadi halal?
Alasannya, karena ada tujuan yang lebih besar dan manfaat yang jauh lebih tinggi, sehingga tidak mengapa kita melakukan hal-hal kecil yang haram, yang penting tujuan besarnya tercapai.
Astaghfirullahaladhzim. . . .
Inilah yang dinamakan al-ghayatu tubarrirul wasilah, demi mencapai tujuan, maka segala cara jadi halal hukumnya meski pada dasarnya haram. Bayangkan, betapa sesatnya paham dan aliran seperti ini.
Padahal maling sendal di masjid saja tahu hukum halal dan haram. Sehingga kalau ada maling sendal ketangkep dan diwawancarai apakah hasil curiannya itu halal atau haram, pasti maling itu bilang haram.
Bandingkan dengan kesesatan yang banyak melanda kita tentang haramnya money politik. Kita sering bilang bahwa uang-uang money politik, mahar politik dan tetek bengeknya itu halal, alasanya karena demi mencapai tujuan yang lebih besar.
Ada Golongan dijuluki sebagai orang yang tersesat (adh-dhaallin) karena mereka bodoh, lugu dan memang tidak tahu hukum halal-haram. Tetapi ada juga Golongan lain dijuluki sebagai kaum yang dimurkai (al-maghdhubi 'alaihim), bukan karena mereka tidak tahu, tetapi justru karena mereka sudah tahumana halal dan mana haram, tetapi mereka mengubah fatwanya, dari yang haram jadi halal.
Maka dosa mengubah fatwa hukum yang haram menjadi halal itu sangat besar. TIdak ada apa-apanya dibandingkan dengan dosa orang yang pada dasarnya tidak tahu halal-haram.
Mungkin tulisan ini bisa menambah wawasan agar kita bisa tau dan tidak membiasakan dengan hal2 yang kita anggap kecil padahal dosanya sangat besar.
Advertisement
