![]() |
| Image Sumber http://poskotanews.com/cms/wp-content/uploads/2017/03/terlalu.jpg |
Sedangkan di jalana lirik lagu itu sering di plesetkan dengan " Yang miskin semakin miskin ... yang kaya semakin kaya.
Lagu yang populer di tahun 1970-an itu masih aktual dan di dendangkan sampai sekarang,Kita sama-sama tahu di balik sukses pembangunan sosial dan stabilitas politik dengan pertumbuhan 4-5% per tahun.muncul masalah lain dari pembangunan kita,kesenjangan ekonomi dan sosial.
Ramai menjadi perbincangan pada beberapa bulan lalu,ketika The Guardian 23/2 memberitakan kekayaan ( empat 4 ) orang terkaya di indonesia itu setara dengan kekayaan 100 juta orang miskin di indonesia.Menurut saya hal ini sudah masuk kategori yang sangat membahayakan.
Mereka yang menikmati pertumbuhan ekonomi sekarang ini tidaklah semua orang,melainkan terkonsentrasi pada orang tertentu dan berada di wilayah tertentu pula.Dan itu sudah ada sejak zaman dahulu kala.
Pada zaman otoriter, di maza Pak Soeharto berkuasa, ada yang mengatakan mereka yang dekat dengan kekuasaan mendapat keistimewaan (previlage), sehingga semua kemudahan bisnis didapat dan menimbun kekayaan mereka. Konsesi pengelolaan hutan dan kekayaan alam dan pasar, jatuh ke segelintir pengusaha yang berbagi keuntungan para penguasa.Dampak sosialnya Rakyat tetap miskin.
Keadaan tak berubah di zaman reformasi. Para investor dan pemodal berjaya, mendapatkan konsesi untuk mengelola proyek agar politisi dapat jabatan. Ribuan hektar hutan dan lahan pertanian jatuh ke tangan pengusaha lokal dan asing.Ekonomi Indonesia survive, tumbuh di atas rata-rata ekonomi dunia. Indonesia bahkan juga masuk sebagai bagian dari 20 kekuatan ekonomi besar dunia.
Kini tugas pemimpin kita melakukan pemerataan. Agar jurang di antara kota dan desa, Jawa dan luar Jawa, wilayah padat penduduk dan terpencil tak terlalu jauh.
Memang menjadi miskin harus takwa, dan yang kaya jangan cuma bangga. Tapi berbagi. Dan penguasa intervensi agar ada pemerataan.
Advertisement
